Sabtu, 25 Mei 2013

Allah Tritunggal Mengasihi kita

ALLAH TRITUNGGAL MENGASIHI KITA 
Yoh. 16:12-15
Pengantar
Selaku umat percaya kita sering gagap saat diminta untuk menjelaskan pengajaran tentang makna “Allah Trinitas”. Di satu pihak kita menegaskan Allah di dalam Kristus adalah Allah yang esa, namun di pihak lain kita menyatakan bahwa Bapa-Anak-Roh Kudus berdiri sendiri. Allah di dalam Bapa-Anak-Roh Kudus memiliki “kepribadianNya” sendiri. Untuk itu kita sering menggunakan formulasi teologis dari Tertullianus (160-220) yang menyatakan: “una substantia, tres personae” (satu zat tiga pribadi). Ketiga pribadi ilahi Allah tersebut menunjuk segi “kejamakanNya” yang bermuara kepada suatu hakikat ilahi yang esa.
Namun formulasi teologis dari Tertullianus tersebut menimbulkan masalah baru, yaitu ketika Tertullianus menyatakan Allah adalah “Zat” (substansi). Sebab bagaimanapun juga makna suatu “zat” mengasosiasikan suatu materi. Padahal suatu “materi” termasuk pula “materi ilahi” keberadaannya tentu diciptakan. Dengan demikian Tertullianus pada satu segi berhasil mempertahankan “kejamakan” Allah, tetapi pada pihak lain dia merendahkan hakikat Allah yang esa hanya sekedar suatu “zat” ilahi belaka. Selain itu, kita juga mengalami kesulitan saat menyatakan bahwa Allah adalah esa namun Dia hadir secara berbeda-beda dalam suatu kurun waktu tertentu. Pandangan tersebut dikemukan oleh Sabellius (sekitar tahun 215) menyatakan bahwa Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus adalah esa secara bilangan/matematis. Allah sebagai Bapa menyatakan diriNya pada waktu karya penciptaan dan karya penyelamatan melalui nabi-nabi di Perjanjian Lama, lalu Allah sebagai Anak menyatakan diriNya melalui karya Kristus sampai Dia naik ke surga; dan terakhir Allah sebagai Roh Kudus menyatakan diriNya setelah Kristus naik ke surga. Jadi menurut Sabellius, Allah yang esa dapat berubah-ubah rupa dalam suatu periode zaman tertentu. Keberatan utama terhadap pandangan Sabellius tersebut adalah dia telah mengaburkan keberadaan Allah sebagai Bapa, Kristus selaku Anak Allah, dan Roh Kudus. Dengan demikian, Sabellius menyelesaikan problem Allah Trinitas secara simplistis dan tidak berhasil mengajak jemaat kepada pengenalan akan penyataan Allah sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus menurut kesaksian Alkitab.
                Pemahaman trinitaris pada masa kini lebih memahami keesaan Allah secara organis, dan tidak lagi secara matematis. Dalam pemahaman keesaan secara organis, disadari unsur-unsur kejamakan yang saling bergantung dan saling mempengaruhi sebagai suatu kesatuan. Contoh: kepribadian manusia yang terdiri dari tubuh-jiwa-roh namun satu kesatuan kepribadian, susunan galaksi, molekul, atom-atom. Yohanes Damaskus (675-749) memahami rahasia Trinitas Allah seperti susunan sebutir telur, yang terdiri dari: kulit, putih telur dan kuning telur. Ketiga aspek atau bagian dari telur tersebut terpisah sekaligus  menyatu, berbeda sekaligus sama. Pemahaman makna trinitas demikian disebut dengan “perikhoresis” sebagaimana dipahami dalam ucapan Tuhan Yesus di Yoh. 14:10, yaitu: “Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya”. Pemahaman trinitas “perikhoresis” mengungkapkan keterjalinan ketiga pribadi Allah yang saling menari mengungkapkan kasih ilahi dan mencurahkan rahmat keselamatan kepada seluruh ciptaan, khususnya kepada umat manusia.

Roh Kudus Dan Kristus

Manakala kita memperhatikan perkataan Tuhan Yesus di Yoh. 16:12-15 dengan seksama, maka yang menjadi subyek utama untuk “berkata-kata dalam kebenaran”, ternyata bukan manusia; tetapi yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus sebagai subyek tersebut adalah Roh Kudus, yang disebut pula dengan Roh Kebenaran. Di Yoh. 16:13, Tuhan Yesus berkata: “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang”.  Para murid dan orang percaya dijanjikan akan dikaruniai Roh Kebenaran yang akan memimpin mereka ke dalam seluruh kebenaran. Dalam ucapan Tuhan Yesus tersebut sangat jelas bahwa Roh Kudus sebagai Roh Kebenaran menjadi subyek atau pelaku yang menentukan dalam memimpin para murid dan orang-orang percaya kepada seluruh kebenaran Allah. Ini berarti tanpa peranan, penyertaan dan bimbingan dari Roh Kudus, para murid dan orang-orang percaya tidak akan pernah mampu untuk mengenal dan berkata-kata dalam kebenaran Allah. Namun sangat menarik, bahwa ternyata dalam kasus tersebut Roh Kudus tidak berdiri sendiri dalam mengungkapkan seluruh kebenaran Allah, karena: “Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarNya itulah yang akan dikatakanNya”. Jadi dalam mengungkapkan seluruh kebenaran Allah, Roh Kudus terlebih dahulu telah mendengar suara Allah dan perkataan Kristus, sehingga Ia dapat mengatakan seluruh kebenaran Allah.
Lebih dari pada itu di Yoh. 16 kita juga dapat menyaksikan bagaimana terdapat hubungan atau relasi personal yang begitu erat antara Roh Kudus dengan Tuhan Yesus. Sebab Roh Kudus yang akan memimpin umat percaya kepada seluruh kebenaran Allah pada hakikatnya bermuara kepada tindakan “memuliakan Kristus”. Di Yoh. 16:14 Tuhan Yesus berkata: “Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimaNya dari padaKu”. Karena seluruh kebenaran Allah yang akan disampaikan oleh Roh Kudus pada hakikatnya berasal dari Kristus. Dalam pengertian ini seluruh kebenaran Allah sesungguhnya bersumber dari Kristus, sehingga berita yang akan disampaikan oleh Roh Kudus tentang seluruh kebenaran Allah adalah diri Kristus sendiri. Jadi Injil Yohanes mau menyatakan bahwa Kristus adalah manifestasi dari seluruh kebenaran Allah. Namun, bukankah manusia tidak akan mudah untuk percaya dan menerima Kristus sebagai kebenaran Allah dengan usaha dan kekuatannya sendiri? Karena keterbatasan dan keberdosaan kita, maka kita tidak mungkin dapat mengenal seluruh kebenaran Allah yang telah dinyatakan di dalam Kristus. Itu sebabnya Allah mengaruniakan Roh Kebenaran untuk membimbing agar kita dapat percaya dan  menerima Kristus. Dengan demikian, kebenaran Allah secara hakiki tidak dapat terlepas dari Kristus. Manakala manusia ingin mengetahui kebenaran Allah, maka manusia tidak dapat mencariNya di luar Kristus. Yoh. 16:15 memberi alasan dan penegasan diri Kristus sebagai manifestasi kebenaran Allah, yaitu: “Segala sesuatu yang Bapa punya adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari padaKu”.  Segala sesuatu yang dimiliki Allah pada hakikatnya juga dimiliki Kristus. Pernyataan ini sejajar dengan perkataan Tuhan Yesus di Mat. 11:27, yaitu: “Semua telah diserahkan kepadaKu oleh BapaKu dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpupn mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadaanya Anak itu berkenan menyatakannya”. 

Kristus, Sang Hikmat Allah

Ini berarti makna dari “seluruh kebenaran Allah” bukanlah sekedar kumpulan pengetahuan tentang firman Allah dan kehendakNya. Seringkali kita memiliki anggapan bahwa seluruh kebenaran Allah identik dengan seluruh kumpulan ayat-ayat firman Tuhan di dalam kitab-kitab suci atau Alkitab. Pemahaman itu mungkin separuh benar, tetapi belum lengkap, sebab sesungguhnya seluruh kebenaran Allah bukanlah sekedar kumpulan huruf-huruf mati.  Kebenaran Allah secara asasi menunjuk kepada hikmat Allah. Di Amsal 8:22-31 menyaksikan hikmat Allah yang dinyatakan dalam bentuk pribadi (personal). Itu sebabnya sang hikmat Allah tersebut menyebut dirinya dengan kata orang pertama, yaitu: “aku”. Yang mana Sang Hikmat Allah tersebut telah ada sebelum alam dan dunia dijadikan. Sang Hikmat Allah tersebut ikut berkarya dalam penciptaan semesta, dan Dia menjadi “anak kesayangan Allah”. Amsal 3:19 berkata: “Dengan hikmat Allah telah meletakkan dasar bumi, dengan pengertian ditetapkanNya langit, dengan pengetahuanNya air samudera raya  berpencaran”. Atas dasar itu iman Kristen mengimani bahwa Hikmat Allah yang telah ada sebelum semesta dan dunia tercipta tersebut pada prinsipnya menunjuk kepada diri Kristus. Itu sebabnya di I Kor. 1:24 rasul Paulus menyatakan: “Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah”.  Jadi terdapat hubungan “benang merah” teologis antara Yoh. 16:13-15 dengan Ams. 8:22-31, yaitu Kristus adalah manifestasi seluruh kebenaran Allah; yang mana seluruh kebenaran Allah tersebut adalah Sang Hikmat Ilahi yang telah ada sejak kekal bersama dengan Allah dan berkarya dalam penciptaan semesta  dan dunia serta seisinya (bdk. Yoh. 1:1-3).  Firman dari sang Hikmat Allah tersebut sangat berkuasa dan mampu menjadikan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo). SabdaNya memiliki daya cipta dan daya kuasa untuk menaklukkan kegelapan menjadi terang, sehingga Dia menjadi sumber dari kehidupan (Yoh. 1:4-5).
Namun sang Hikmat Allah yang di dalamNya mengandung seluruh kebenaran Allah tersebut tersembunyi di dalam kemanusiaan Kristus. Walaupun Kristus telah menyatakan perbuatan dan kuasa Allah yang besar, tidaklah mudah bagi umat manusia untuk percaya kepadaNya. Karena itu Allah mengaruniakan Roh Kudus agar menyatakan kuasa anugerahNya kepada manusia, sehingga mereka dapat percaya bahwa Yesus itu adalah Tuhan (I Kor. 12:3).  Dalam hal ini tindakan percaya kepada Kristus sangat menentukan untuk memperoleh keselamatan dari Allah. Di Rom. 5:1 rasul Paulus berkata:“Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai-sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus”.  Iman kepada Kristus menjadi dasar kita dibenarkan oleh Allah dan memampukan kita untuk hidup dalam damai-sejahtera dengan Allah. Jadi iman kepada Kristus merupakan jalan masuk (gained access) untuk memperoleh kasih-karunia dan keselamatan dari Allah (Rom. 5:2). Sehingga hidup dalam seluruh kebenaran Allah tidak bisa tidak merupakan hidup di dalam iman kepada Kristus. Sikap iman yang demikian menjadi jalan masuk bagi kita untuk mengenal seluruh kebenaran Allah dan hikmatNya. Ini berarti makna tindakan iman menjadi daya dorong bagi orang percaya untuk hidup berdasarkan kebenaran dan hikmat Allah. Manakala orang percaya dalam praktek hidupnya ternyata sangat jauh dari kebenaran Allah dan dia tidak mencerminkan hikmat Allah, sesungguhnya dia belum percaya kepada Kristus. Hidup beriman adalah hidup yang dilandasi oleh pola pikir dan spiritualitas hikmat Allah, karena itu dia mampu untuk berkata-kata dalam kebenaran.

Tarian Kasih Allah
Relasi kedirian Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus merupakan relasi personal yang harmonis dan utuh, sehingga Allah Trinitas senantiasa menghadirkan diriNya dalam tarian cinta-kasih ilahi yang terus mengalir dan menghidupi seluruh alam semesta beserta isinya. Sehingga karakter Allah yang utama adalah integritas diriNya yang ditampilkan dalam sifat-sifatNya yang pengasih, penyayang, panjang-sabar dan berlimpah kasih-setia. Karena hakikat Allah yang utama adalah kasih. Allah itu kasih (I Yoh. 4:8). Di dalam diri atau hakikat Allah dijiwai oleh kasih, dan kasih itu relasional kepada “yang lain” di luar hakikat Allah yaitu seluruh ciptaan dan alam semesta.   Dengan demikian percaya kepada Allah Trinitas, berarti kita dipanggil untuk memiliki jalinan cinta-kasih yang harmonis dan utuh dengan sesama. Yang mana jalinan cinta-kasih tersebut selalu diekspresikan keluar dari cinta-diri dan membentuk suatu jalinan relasi yang saling memberi respon dan makna. Percaya kepada Allah Trinitas juga berarti bahwa hidup kita menjadi berarti bilamana bersedia dicurahkan dan dinyatakan kepada “yang lain”. Keberlainan sesama bukan sebagai suatu konfrontasi, tetapi sesama menjadi penghadir makna. Melalui Kristus, kita dimampukan untuk menghayati hikmat Allah yang membebaskan diri dari belenggu egoisme dan keterasingan diri. Makna hikmat Allah yang  demikian akan memampukan kita untuk mengenal kebenaran Allah yang membebaskan dan menyelamatkan.
Namun dalam kehidupan sehari-hari kita sering menghayati iman secara bias dan mendua. Pada satu pihak kita mengaku percaya kepada Kristus, tetapi pada pihak lain kita gagal untuk berkata-kata dalam kebenanaran dan hikmat Allah. Kata-kata kita sering membawa akibat yang destruktif bagi anggota keluarga dan sesama di sekitar kita. Bilamana kuasa hikmat Allah memiliki daya cipta yang kreatif dan mampu menaklukkan kegelapan menjadi terang, maka perkataan atau ucapan kita justru sering menghancurkan segala hal yang baik, sehingga kita mengubah terang menjadi kegelapan. Jikalau kuasa hikmat Allah yang dinyatakan di dalam Kristus mampu membebaskan jiwa yang terbelenggu dari kuasa dosa, maka sering ucapan dan kata-kata kita mematahkan pengharapan dan semangat hidup sesama kita. Ucapan dan kata-kata kita memiliki “otoritas” yang hampir sama dengan sang Hikmat Allah, tetapi beda karakter dan kualitasnya. Sebab bilamana sang Hikmat Allah memiliki kuasa untuk membangkitkan daya hidup dan mampu memulihkan apa yang rusak, justru sebaliknya ucapan dan kata-kata kita memiliki kuasa untuk meruntuhkan dan menghancurkan apa yang baik.  Penyebabnya karena realita iman belum menjadi realitas batin dan spiritualitas kita. Iman yang kita miliki masih berada di bagian permukaan, sehingga yang menguasai dan mengendalikan ekspresi kepribadian kita bukanlah kuasa iman, tetapi  kuasa dosa yang telah bercampur dengan berbagai luka batin yang pernah kita alami. Itu sebabnya kita sering tidak mampu berkata-kata dalam kebenaran dan hikmat Allah. Kata-kata dan ucapan kita lebih banyak lahir dari hikmat duniawi dan luka-luka batin (trauma emosi) yang belum sepenuhnya diterangi oleh cahaya pengampunan Allah. Realitanya kita belum mengalami pendamaian (rekonsiliasi) dengan Allah. Jadi iman kita sering masih bias dan mendua, karena Roh Kudus belum menerangi seluruh batin kita.

Dibentuk Dalam Dinamika Proses

Namun kita tidak boleh kecil hati dan putus-asa dalam menghayati iman. Sebab siapakah di antara kita yang tidak memiliki iman yang kadang-kadang bias dan mendua, sehingga antara apa yang kita hayati dan pikirkan selalu sesuai dengan tindakan dan ucapan? Bukankah kita sering masih jatuh-bangun dalam menghayati iman kepada Kristus? Kita semua masih berada dalam proses pertumbuhan, asalkan hati kita senantiasa terbuka untuk dibimbing dan diterangi oleh Roh Kudus. Sebab masih banyak segi-segi dan dimensi batin kita belum terbuka dan diterangi oleh Roh Kudus. Tanpa kita sadari, sering kita justru menutup dan menyembunyikan segi-segi batin kita dari terang Roh Kudus, sehingga wilayah “bayangan gelap” (shadow) dalam kepribadian kita masih dominan. Bukankah benar pandangan dari Sokrates yang mengatakan bahwa bilamana hidup batin yang tidak dapat diselidiki, maka dia juga tidak layak untuk dialami? Jadi manakala bagian atau segi-segi batin kita belum terbuka dan diterangi oleh kuasa Roh Kudus, maka bagian atau segi-segi batin tersebut masih serba gelap, irasional, liar, subyektif dan cenderung memiliki daya destruktif.  Dengan kondisi yang demikian, maka pastilah kita akan gagal untuk bertindak dan berkata-kata dalam kebenaran. Bahkan yang mungkin terjadi kita akan berusaha memberangus dan memanipulasi kebenaran. Betapa sering dalam kehidupan ini kita telah memperlakukan kebenaran Allah yang kudus dan adil secara murah, serba subyektif dan sewenang-wenang. Kebenaran dan hikmat Allah sering kita “pelintir” atau diperkosa secara sewenang-wenang. Kita kerap kali gagal untuk bertindak dan berkata-kata dalam kebenaran karena kita sering menjadi orang-orang yang lalim. Itu sebabnya kita menjadi musuh Allah karena kita melawan kebenaranNya. Jadi kita semua membutuhkan Kristus, agar dengan kuasa RohNya kita dipulihkan dan diperdamaikan dengan Allah.
Karya Roh ternyata bukan hanya membimbing dan menerangi seluruh batin manusia yang percaya kepada Kristus. Tetapi juga karya Roh memampukan kita untuk menyambut kasih Allah yang telah dicurahkan di dalam hati kita. Di Rom. 5:5 rasul Paulus berkata: “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita”. Makna “dicurahkan” berasal dari kata Yunani “ekkekhutai” (has been poured out) menunjuk tindakan menumpahkan dengan limpahnya. Jadi karya Roh Kudus mencurahkan dengan limpahnya kasih Allah tersebut, sehingga umat percaya dapat mengenal dan mengalami kekayaan kebenaran dan hikmat Allah. Ini berarti kekayaan kebenaran dan hikmat Allah tidak identik dengan kekayaan pengetahuan dan pemahaman saja, tetapi kaya dalam  pengalaman kasih Allah.  Bukankah ketika kita kaya dalam kasih Allah, maka kita dimampukan untuk senantiasa berkata-kata dalam kebenaran dan juga mampu bertindak dalam roh hikmat Allah?
Panggilan
Melalui iman kepada Allah Trinitas, kita bukan hanya diajak untuk memahami misteri hubungan Allah sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Tetapi lebih dari pada itu kita dipanggil untuk memahami kekayaan kasih ilahi yang tanpa syarat dan yang dicurahkan kepada umat percaya. Melalui kekayaan kasih Allah yang tanpa syarat itulah kita dimampukan untuk menanggung penderitaan, kesusahan, kegagalan dan tragedi hidup dengan setia. Karena kita telah memperoleh kekayaan kasih Allah yang dicurahkan dengan penuh kelimpahan, maka kita juga akan menyalurkan secara berlimpah kasih Allah tersebut kepada orang-orang di sekitar kita. Demikian pula karena kita telah memperoleh kasih Allah secara cuma-cuma, maka kita juga menyalurkan kasih Allah tersebut dengan sikap yang sama. Sehingga dengan roh hikmat Kristus, kita senantiasa menyalurkan kasih Allah tanpa pernah memandang latar-belakang seseorang seperti etnis, agama dan status sosialnya. Namun pada pihak lain melalui Roh Kudus, kita dimampukan untuk menyatakan kebenaran Allah tanpa membedakan orang. Kebenaran tidak pernah pilih kasih. Sebab kebenaran selalu tampil seperti sinar matahari yang tidak pernah menyembunyikan diri. Mungkin sementara waktu dapat diselimuti oleh awan yang gelap, tetapi cahayanya tetap bersinar setiap hari untuk menerangi dan memberi daya hidup kepada setiap mahluk.                        
                Jika demikian, untuk mengetahui apakah kita telah bertindak dan berkata-kata dalam kebenaran serta hikmat Allah dapat kita lihat hasil (output) dari apa yang telah kita lakukan. Apakah yang kita hasilkan dalam kehidupan kita adalah kasih Allah yang memiliki daya cipta yang membangun dan memulihkan apa yang rusak? Jika belum, maka kita sekarang perlu membuka hati selebar-lebarnya agar “bayangan kuasa gelap” di dalam batin kita makin diterangi oleh Roh Kudus agar kasih Allah juga makin dicurahkan di dalam hati kita. Amin.
Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
www.yohanesbm.com